Meidia Venny, S.E., CFP
Mahasiswa Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, 25163, Indonesia
- Pendahuluan
Pembangunan Nasional di Indonesia yang bertujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berkembang sangat pesat. Pembangunan Nasional tersebut menyasar segala bidang yang meliputi aspek ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Pembangunan di bidang ekonomi berperan penting dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat 4 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-4 yaitu: Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, menciptakan kesempatan kerja yang luas dan seimbang di semua sektor perekonomian, serta dengan tujuan untuk memberikan kesejahteraan secara adil kepada seluruh rakyat Indonesia, maka program pembangunan ekonomi nasional harus dilaksanakan secara komprehensif dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh ke seluruh sektor riil perekonomian masyarakat Indonesia.
Pembangunan ekonomi Indonesia membutuhkan perangkat hukum yang mengatur perekonomian tersebut. Pembangunan ekonomi meliputi kegiatan manusia yang sangat luas. Hukum yang erat kaitannya dengan pembangunan ekonomi tersebut adalah hukum perdata, yang mengatur hubungan antar manusia di masyarakat. Hukum perdata itu mengatur hubungan perseorangan baik dalam masyarakat maupun dalam keluarga. Kemudian dalam tiap-tiap hubungan hukum terlibat dua orang atau lebih yang merupakan subjek-subjek hukum.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa terlepas dari kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi ini merupakan kegiatan yang melibatkan lebih dari satu individu atau satu organ. Oleh karena itu, yang menjadi pembentuk berjalannya kegiatan ekonomi adalah organ (individu dan atau korporasi dalam jumlah lebih dari satu) yang saling membutuhkan dan saling melengkapi dalam proses kegiatan ekonomi, para pelaku ekonomi yang saling berinteraksi menyebabkan terjadinya transaksi ekonomi.
Perkembangan dalam bidang ekonomi meningkatkan kebutuhan akan barang dan jasa baik yang disediakan oleh pihak swasta maupun pemerintah berupa fasilitas umum dengan sumber pembiayaan yang berasal dari pungutan kepada masyarakat yang bersifat wajib dan dapat dipaksakan yang di Indonesia disebut dengan pajak.
Pajak merupakan penerimaan negara yang ditarik dari masyarakat berdasarkan undang-undang yang dikeluarkan oleh negara dan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan belanja negara dalam melaksanakan tugas-tugas demi kepentingan umum dan pada gilirannya kepentingan umum ini akan meliputi kepentingan antar individu sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang ditarik dari masyarakat untuk kemudian dihimpun oleh negara dan pada gilirannya dikembalikan kepada masyarakat melalui anggaran rutin dan program-program pembangunan.
Rochmat Sumitro mengemukakan bahwa pajak adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang (tatbestand) untuk membayar sejumlah uang kepada (kas negara) yang dapat dipakasakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (rutin dan pembangunan) dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan.
Demikian juga dengan pengertian pajak menurut undang-undang sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 16 Tahun 2009, pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebsear-besarnya kemakmuran rakyat.
Perpajakan erat kaitannya dengan objek pajak berupa tambahan penghasilan bagi subjek pajak yang berasal dari suatu kegiatan termasuk kegiatan investasi dan bisnis. Tak sedikit kita ketahui banyak pengusaha yang enggan dan mamanipulasi pembayaran pajak atas penghasilan yang didapat dari kegiatan bisnis sehingga timbul permasalahan di bidang perpajakan dengan berbagai konsekuensi atas pelanggaran tersebut.
Seiring dengan upaya pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang lebih baik di Indonesia, salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui penetapan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mempunyai tujuan penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, serta investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Sepuluh ruang lingkup Undang-undang ini adalah: 1) peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; 2) ketenagakerjaan; 3) kemudahan, perlindungan, serta pemberdayaan Koperasi dan UMK-M; 4) kemudahan berusaha; 5) dukungan riset dan inovasi; 6) pengadaan tanah; 7) kawasan ekonomi; 8) investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional; 9) pelaksanaan administrasi pemerintahan; dan 10) pengenaan sanksi.
Terkait perpajakan, melalui Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja bidang perpajakan, beberapa ketentuan termasuk aturan denda pajak berubah. Perubahan-perubahan terkait perpajakan dalam UU Cipta Kerja, memang sedikit mendapatkan sorotan. Namun, peraturan baru ini perlu untuk dilihat lebih spesifik, terutama pajak untuk proses pembuatan usaha dan bisnis.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat masalah dalam tulisan ini dengan rumusan “Bagaimana perubahan pengaturan perpajakan pada Undang-undang Cipta Kerja yang dapat menstimulus kegiatan bisnis dan pertumbuhan ekonomi.”
- Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengkaji peraturan-peraturan terkait yang mengatur tentang masalah yang dibahas yaitu pengaturan perpajakan pada Undang-undang Cipta Kerja yang menstimulus kegiatan bisnis dan pertumbuhan ekonomi. Metode pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang nantinya akan dijadikan pedoman dalam memahami dan menganalisis permasalahan yang dibahas.
- Hasil Penelitian dan Pembahasan
Adanya perubahan-perubahan yang tertuang di UU Cipta Kerja, diharapkan dapat mendorong lahirnya bisnis baru untuk perkembangan ekonomi bangsa. Pembentukan dan pengesahan undang-undang ini bertujuan untuk menyederhanakan beberapa peraturan agar menarik investor dan penciptaan lapangan pekerjaan di Indonesia.
Terdapat beberapa klaster yang diatur dalam undang-undang ini termasuk dengan klaster perpajakan. Namun, tidak semua Omnibus terkait pajak ada di dalam UU Cipta Kerja. Beberapa masuk ke dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020 yang juga disahkan menjadi UU No. 2/2020 terkait Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Adanya klaster perpajakan di UU Cipta Kerja ini sebagai penyesuaian dari berbagai aspek pengaturan terkait investasi yang belum masuk dalam UU 2/2020. Selain itu kemudahan berusaha tercanyum pada Bab VI terkait Kemudahan Berusaha, yang berisi empat pasal, yaitu Pasal 111, 112, 113, dan 114.
Perubahan Undang-undang dalam klaster perpajakan di UU Cipta Kerja lebih kepada hal-hal yang berkaitan dengan ekosistem investasi. Diharapkan terdapat kepastian hukum bagi pelaku usaha atau investor untuk berinvestasi dan menciptakan lapangan kerja di Indonesia, pada akhirnya meningkatkan daya beli masyarakat dan mengerek pertumbuhan ekonomi. Terdapat 4 Undang-undang perpajakan yang diatur dalam UU Cipta Kerja yaitu:
-
- UU PPh, yaitu Undang-Undang UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan jo. UU No. 36/2008.
- UU PPN dan PPnBM, yaitu Undang-Undang UU No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) jo. UU No. 42/2009.
- UU KUP, yaitu Undang-Undang No. 16/2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) jo. UU No. 6/1983.
- UU PDRD, yaitu Undang-Undang No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)
Adapun perubahan yang terdapat pada Undang-undang tersebut adalah:
1. Perubahan terkait Pajak Penghasilan (PPh)
Jika di UU No. 2/2020 terdapat penurunan PPh secara bertahap hingga 20% di tahun 2023, penurunan PPh juga tertuang dalam UU Cipta Kerja ini. Penghasilan berupa dividen bagi Wajib Pajak Orang Perorangan (WPOP) yang berasal dari dalam dan luar negeri untuk diinvestasikan di Indonesia, tidak akan dikenakan pajak. Syaratnya, dividen dan penghasilan yang diinvestasikan minimal 30% dari laba setelah pajak dan saham Wajib Pajak Badan (WP Badan) tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia. Hal ini tertuang dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU Cipta Kerja. Ketentuan penarikan pajak terhadap WNI yang berada di Luar Negeri dan WNA yang berada di Dalam Negeri juga berubah. WNA yang selama 183 hari berada di Dalam Negeri dan melakukan usaha atau mendapatkan penghasilan di wilayah hukum Indonesia akan menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN), sehingga akan dikenakan PPh Dalam Negeri. Sebaliknya, jika WNI yang 183 hari berada di Luar Negeri dan melakukan usaha di negara lain, statusnya menjadi Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) dan dikenakan PPh Luar Negeri. WNI dan WNA sebagai subjek pajak diatur dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a, b, c, d.
2. Perubahan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Pasal 112 dalam UU Cipta Kerja tertuang peraturan relaksasi ketentuan PPN dan kredit pajak masukan PPN. Dalam pasal tersebut, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang belum menyerahkan barang atau jasa untuk ekspor bisa mengkreditkan pajak masukan sepanjang memenuhi pengkreditan sesuai UU. Pada peraturan sebelumnya di pasal 9 ayat (2a) UU PPN dan PPnBM, PKP yang belum berproduksi dapat mengkreditkan pajak masukannya. Jika dalam waktu 3 tahun perusahaan melakukan penyerahan barang, pengkreditan pajak bisa dilakukan. Namun, jika tidak ada penyerahan barang atau jasa, pajak masukan dalam hal sektor barang atau jasa tertentu, tidak bisa dikreditkan.Pada sektor tertentu, dapat diberikan periode yang lebih panjang dari 3 tahun.
- Perubahan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
Pelaporan dan pembayaran pajak yang tidak sesuai akan mendapatkan sanksi sesuai dengan peraturan. UU Cipta Kerja juga merevisi ketentuan sanksi dari pelaporan dan pembayaran pajak.
Peraturan yang berubah adalah:
- Penurunan sanksi telat lapor SPT dan Kurang Bayar Pajak disesuaikan dengan tingkat atau tarif suku bunga acuan per bulan, yang sebelumnya tertuang di UU KUP sebesar 2% per bulan. Hasil penghitungan baru ini, jumlahnya bisa lebih rendah dibanding sanksi sebelumnya.
- Sanksi denda berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% dibagi 12 berlaku pada tanggal dimulai penghitungan sanksi, paling lama 24 bulan pada Wajib Pajak (WP) yang;
- Membetulkan sendiri SPT-nya dan membuat utang pajak menjadi lebih besar
- Kurang bayar karena pembetulan SPT Tahunan/Masa
- Terlambat membayar PPh Pasal 29 SPT tahunan
- Terlambat membayar SPT Masa
- Sanksi denda berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% dibagi 12, paling lama 24 bulan, jika tidak melunasi SPT yang kurang bayar.
- Sanksi denda berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15% dibagi 12, paling lama 24 bulan, jika tidak melunasi pajak kurang bayar dan mendapatkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
- Jika WP tidak menyampaikan SPT atau mengisi SPT dengan tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar akan didenda sebesar 100% dari jumlah pajak yang kurang bayar saat pengungkapan pelaporan pajak tidak benar.
Jumlah ini lebih rendah dari yang tertulis di UU KUP, sebesar 150%.
- Jika PPh PKP kurang bayar, sanksi administratif berupa bunga yang ditetapkan Menkeu dihitung sejak terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP).
- PKP tidak menerbitkan faktur atau menerbitkan faktur tidak lengkap, dikenakan sanksi 1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
- STP keterlambatan bayar Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), SK Pembetulan, SK Keberatan, Banding dan Pengajuan Kembali, sanksi bunga penundaan pembayaran karena mengangsur, dan bunga atas STP penundaan yang nilainya lebih kecil, dikenakan sanksi bunga per bulan sesuai ketetapan Menkeu berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 maksimal 24 bulan.
- Penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan dilakukan setelah WP melunasi utang pajak yang tidak/kurang bayar/seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi denda 3 kali jumlah pajak yang tidak/kurang bayar/seharusnya dikembalikan.
4. Perubahan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)
Pada UU Cipta Kerja, pungutan daerah termasuk didalamnya retribusi perizinan tertentu akan dihapus.Selain itu untuk mempermudah perizinan usaha, pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Keuangan akan mengevaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah yang sudah ada terkait PDRD. Jika dari hasil evaluasi Menteri Keuangan, peraturan tersebut dicabut oleh presiden, pemda tidak dapat menerapkan perda terkait PDRD tersebut. Pemda yang melanggar akan dikenakan sanksi penundaan atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil.
- Kesimpulan
Salah satu upaya pemerintah dalam menciptakan iklim investasi yang lebih baik di Indonesia adalah melalui penetapan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mempunyai tujuan penciptaan kerja melalui kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, serta investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Terkait perpajakan, UU Cipta Kerja memberikan kemudahan pada:
- Perubahan terkait Pajak Penghasilan (PPh)
Penghasilan berupa dividen bagi Wajib Pajak Orang Perorangan (WPOP) yang berasal dari dalam dan luar negeri untuk diinvestasikan di Indonesia, tidak akan dikenakan pajak. Syaratnya, dividen dan penghasilan yang diinvestasikan minimal 30% dari laba setelah pajak dan saham Wajib Pajak Badan (WP Badan) tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.
- Perubahan terkait Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang belum menyerahkan barang atau jasa untuk ekspor bisa mengkreditkan pajak masukan sepanjang memenuhi pengkreditan sesuai UU.
Pada peraturan sebelumnya di pasal 9 ayat (2a) UU PPN dan PPnBM, PKP yang belum berproduksi dapat mengkreditkan pajak masukannya. Jika dalam waktu 3 tahun perusahaan melakukan penyerahan barang, pengkreditan pajak bisa dilakukan. Namun, jika tidak ada penyerahan barang atau jasa, pajak masukan dalam hal sektor barang atau jasa tertentu, tidak bisa dikreditkan. Terbaru, pada sektor tertentu, dapat diberikan periode yang lebih panjang dari 3 tahun.
- Perubahan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
- Penurunan sanksi telat lapor SPT dan Kurang Bayar Pajak disesuaikan dengan tingkat atau tarif suku bunga acuan per bulan.
- Penurunan jumlah denda ketika WP tidak menyampaikan SPT atau mengisi SPT dengan tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar.
- Jika PPh PKP kurang bayar, sanksi administratif berupa bunga yang ditetapkan Menkeu dihitung sejak terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai diterbitkannya Surat Tagihan Pajak (STP).
- PKP tidak menerbitkan faktur atau menerbitkan faktur tidak lengkap, dikenakan sanksi 1% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP).
- STP keterlambatan bayar Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), SK Pembetulan, SK Keberatan, Banding dan Pengajuan Kembali, sanksi bunga penundaan pembayaran karena mengangsur, dan bunga atas STP penundaan yang nilainya lebih kecil.
- Penghentian penyidikan tindak pidana perpajakan dilakukan setelah WP melunasi utang pajak yang tidak/kurang bayar/seharusnya dikembalikan, ditambah dengan sanksi administrasi denda 3 kali jumlah pajak yang tidak/kurang bayar/seharusnya dikembalikan
- Perubahan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD)
Pada UU Cipta Kerja, pungutan daerah termasuk didalamnya retribusi perizinan tertentu akan dihapus. Selain itu untuk mempermudah perizinan usaha, pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Keuangan akan mengevaluasi rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah yang sudah ada terkait PDRD. (*)